Inti Agama dan Keagamaan


Ketika ada yang menulis Tasawuf Spiritualisme dalam Islam saya ketawa geli. Setidaknya ada dua alasan yang memancing tawa saya. Pertama, bagi saya tasawuf dan spiritualitas itu sinomim. Beda bahasa, itu saja. Kedua, spiritualitas tidak bisa dijadikan ‘isme’. Selama masih ada dwi (bahasa Sindhi) atau dualitas menurut Shah Abdul Latief dari Sindh (sekarang Pakistan) seseorang masih jauh dari Tauhid, dari Kesatuan. Dan kalau masih jauh dari Tauhid, dari Kesatuan, lalu ucapannya ‘La ilaha ila Allah hanya sekadar ucapan. Dia masih belum bisa melihat Kebenaran di balik kalimat itu. Kebenaran Yang Satu Ada-Nya!

Tidak ada sesuatu di luar Allah. Orang yang masih menganggap Tuhan orang Kristen beda dari Tuhan orang Islam — Tuhan orang Hindu beda dari Tuhan orang Buddhis, Tuhan Shabi-in beda dari Tuhan Yahudi — harus membaca ulang Alqur’an. Jika masih melihat perbedaan semacam itu, maka kita belum ‘khatam’ Alqur’an. Belum, pelajaran kita masih belum selesai.

Dalam hal ini Alqur’an jelas sekali: ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi-in dan orang-orang Nashara, barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Surat 5:69).

Jalan bisa berbeda. Jelas berbeda. Orang Iran ke Mekah tidak harus lewat Indonesia. Orang Indonesia ke Mekah tidak harus lewat Cina. Orang India ke Mekah tidak harus lewat Amerika. Orang Mesir ke Mekah tidak harus lewat Eropa. Orang Eropa ke Mekah tidak harus lewat Australia. Jalan berbeda, jelas-jelas berbeda. Tetapi, apabila kita menganggap tujuan pun berbeda, maka sesungguhnya kita musyrik. Justru kita yang menduakan Allah, menduakan Tuhan.

Pemahamanmu (tentang agama) bagi kamu. Pemahamanku (tentang agama) bagi aku. Ya, itu betul. Tetapi tidak pernah ada satu pun Nabi yang mengatakan, ”Tuhanku bagi aku, Tuhanmu bagi kamu.” Tidak bisa. Karena tujuan kita semua satu, sama.

Ketika mayat orang Yahudi lewat, Nabi tetap memberi hormat. Turunan Nabi di Timur Tengah sana juga melakukan hal yang sama. Dalam setiap ulang tahun Nabi Isa di Bethlehem, Yasser Arafat hadir. Alqur’an penuh dengan ayat-ayat yang menjunjung tinggi perbedaan. Melihat kebenaran yang satu dan sama di balik wujud-wujud yang berbeda. Bahkan perbedaan dalam hal beribadah pun diakui. Sehingga bukan hanya Nasrani dan Yahudi, tetapi cara umat Shabiin berdoa, cara alam semesta ber-‘tasbih’ semuanya diakui: ”Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Surat 57:1).

Dalam bahasa apa seisi langit dan bumi sedang bertasbih kepada Allah? Dengan cara apa mereka sedang bertasbih? Tahukah kita? Tidak ‘kan? Yang tahu hanyalah Dia. Lalu apa gunanya menonjolkan supremasi bahasa kita dan cara kita? Maha Tahu Allah, Maha Mengetahui Allah! Pengetahuan kita masih amat sangat terbatas. Sisi Kebenaran yang terlihat oleh kita pun hanya satu. Lalu berdasarkan modal secuil itu, jika kita menganggap diri sudah hebat dan menganggap remeh orang lain; kita sungguh bodoh, arogan, angkuh, sombong!

Seringkali, kita juga tidak sadar dan terprovokasi oleh sekelompok kecil orang yang ‘hanya’ melihat perbedaan. Demikian, sesungguhnya kita menurunkan ‘derajat’ Kalam Ilahi. Kalam yang bisa mempersatukan, kita jadikan pedang untuk memisahkan.

Masih saja ada yang menulis, memberi ceramah, membakar emosi masyarakat dengan macam-macam tuduhan dan tundingan. Mereka lupa bahwa kecendekiaan mereka, ilmu pengetahuan mereka juga merupakan berkah dari Allah. Menyalahgunakannya untuk memecah belah umat manusia, sama seperti menghina Alqur’an itu sendiri.

Apa yang harus kita lakukan? Mengkonfrontir mereka? Tidak. Karena, ketidaktahuan tidak bisa diatasi dengan ketidaktahuan. Seperti halnya lantai yang kotor tidak bisa dibersihkan dengan air yang kotor. Untuk menghilangkan noda dari baju, dibutuhkan air yang bersih. Ditambah pemutih, deterjen. Yang jelas, air kotor tidak bisa dijadikan sarana untuk membersihkan kekotoran.

Kekerasan tidak hanya ditandai oleh pedang dan parang di tangan. Kalam atau pena di tangan bisa lebih berbahaya dari pedang. Pena kita haruslah menyebarkan kesejukan, bukan kegerahan. Kita boleh beda pendapat, boleh berbeda haluan. Perhatikan alam di sekitar kita. Tidak ada dua helai daun yang sama. Satu pohon, satu jenis, tetapi setiap helai daun berbeda. Tidak ada pengulangan di dalam alam ini. Semuanya unik. Jelas, setiap individu juga unik. Kita tidak akan berhasil ‘menyeragamkan’ umat manusia.

Dalam satu kelompok agama saja bisa berkembang sekian banyak paham. Untuk membina hubungan harmonis antarkelompok saja, kita sudah harus berhati cukup besar untuk menerima perbedaan. Apalagi dalam hal hubungan lintas agama.

Keinginan kita untuk menyeragamkan umat manusia, berasal dari ‘kehausan kita akan kekuasaan’. Memerintah, menguasai, dan memperbudak ‘satu macam’ manusia, jauh lebih gampang daripada memerintah, menguasai, dan memperbudak ‘sekian macam’ manusia. Setiap orang yang ‘wara’ tidak akan pernah bicara tentang keseragaman.

Dua ayat Alqur’an yang dikutip di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa Muhammad yang kita muliakan bisa menerima perbedaan. Yesus pun bisa, karena dia melihat Kerajaan Allah di dalam diri manusia. Veda menerima semua Nama yang diberikan kepada-Nya, karena di balik Nama-Nama yang berbeda itu ada Kebenaran. Dan Kebenaran itu Satu Ada-Nya. Dalam ajaran buddhis, bebatuan dan tumbuhan pun dianggap sebagai bagian penting dalam mata rantai evolusi yang semuanya sedang menuju ke-‘Buddha’-an.

Istilah Islam berasal dari suku kata yang bisa diartikan ‘Damai’. Dan kata ‘damai’ itu sendiri secara implisit menerima adanya keadaan yang bisa disebut ‘tidak damai’. Sekarang tinggal pilih, maunya apa? Pilihan Islam sudah jelas sekali damai, kedamaian, perdamaian.

Dan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian, Islam memiliki landasan yang kuat sekali. Kembali pada kalimat emas, La ilaha ila Allah. Tidak ada sesuatu di luar Allah. Dialah Satu-Satu-Nya Kebenaran. Tidak ada kebenaran di luar Dia. Lalu, untuk apa bertikai? Untuk apa bertengkar? Untuk apa berprasangka buruk terhadap orang lain? Menyelami Islam, manusia akan menjadi lembut. Jika dia tidak lembut, jelas dia belum cukup menyelami Islam. Kekerasan yang terjadi atas nama Islam dilakukan oleh orang-orang yang belum cukup menyelami Islam. Mereka tidak tahu, ‘Islam itu apa.’ Karena kebetulan lahir dalam keluarga Muslim, tidak serta-merta seseorang menjadi Mukmin. Untuk menjadi Mukmin, kita harus ‘berserah diri pada Hendak Ilahi.’ Yang disebut kafir adalah mereka yang tidak berserah diri pada Hendak Ilahi. Yang disebut beriman adalah mereka yang menerima Kehendak-Nya.

Inilah inti agama, inti keagamaan. Dan bagi saya inilah spiritualitas, inilah tasawuf. Inilah Islam!

4 Responses

  1. Ah, kita punya semangat yang sama, tampaknya.

    Salam Kenal

  2. assalamu alaikum..salam kenal akh.. :d saya baca dari bacaan “inti agama dan keagamaan” bagus nambah wawasan tentang agama hehe…

    Kalau kita berangkat dari agama yang konsisten, akan
    ada buahnya, yaitu adanya akhlak yang karimah. Nabi Muhammad sendiri
    menyatakan bahwa dia diutus untuk menyempurnakan budi pekerti. Jadi
    inti dari agama itu ada pada akhlak.

    Nah, bagi kita yang
    beragama impor ini sudah barang tentu harus paham arti dan isi
    pesannya. Kalau bahasanya saja kita tidak tahu, bagaimana kita bisa
    menghayati agama sendiri. jadi bahasa arab juga harus bisa…hehe begitu kira2 komentar dari saya.

  3. Waalaikum salam Akhi Rahmat, Terima kasih akhi atas komentarnya, bagus banget, Semoga Allah selalu merahmati kita untuk terus mendalami dan menjalankan sungguh-sungguh ajaran dari Allah dan Rasulnya.

  4. assalamualaikum wr.wb

    suamiku tersayang, kubaca artikel blog nya. sangat baik dan bermamfaat. semoga bisa dijadikan sebagai ladang dakwah yg bermamfaat, blog ini dibaca oleh semua orang, dan apapun yg kita sampaikan akan selalu ada resiko. maka dari itu tetaplah istiqomah untuk menyampaikan artikel yg bermamfaat untuk semua orang. selalu siap menerima krtikan, siap ditegur apabila artikel ada yg salah dan menyimpang, selain artikel ini dijadikan sebagai jalan dakwah, jadikan lah blog ini sebagai media silaturahim. ingatlah bahwa kebenaran datangnya dari Allah dan kesalahan dan kekhilafan datangnya dari kita sebagai manusia yg selalu tak lepas dari salah dan khilaf.

    ade yeni

Leave a reply to ade yeni Cancel reply